POKOK (1) tokoh (3)

Selasa, 04 Maret 2014

Soekarno: Politisi Berbalut Sinkretisme Jawa?[1]

Oleh Mochtar Habibi

“Sosialisme, komunisme, inkarnasi-inkarnasi Vishnu Murti, bangkitlah dimana-mana! Hapuskan kapitalisme yang didukung oleh imperialisme yang merupakan budaknya! Semoga  Tuhan memberikan kekuatan pada Islam agar  berhasil…” (Soekarno, IPO 1921)

Pendahuluan

Membicarakan Soekarno tidak akan habis dalam satu – dua jam. Untuk itu, kita perlu memilih salah satu sudut pandang dalam melihat seorang Soekarno. Salah satu perspektif yang penting dan menarik untuk didiskusikan adalah peran Soekarno yang begitu menonjol dalam mempersatukan sebuah deretan kepulauan yang kemudian diberi nama Indonesia. Soekarno memang dikenal sebagai Bapak Pemersatu. Sepanjang karirnya, Soekarno sangat kukuh menyatukan berbagai aliran politik yang ada di Indonesia. Persatuan, selain berhasil membawa kemerdekaan, juga membawa malapetaka sejarah yang terjadi pada tahun 1965. Ada pengamat yang menilai, kecenderungan Soekarno untuk selalu mengutamakan persatuan dipengaruhi oleh budaya sinkretisme Jawa yang dibentuk sejak masa kecilnya (Dahm, 1987). Dalam sinkretisme Jawa, ‘semua hal adalah satu’. Yang perlu dicari dari hal yang berbeda adalah persamaannya. Itu pula yang tercermin dalam kutipan tulisan Soekarno diatas. Bagaimana berbagai aliran prinsip yang sangat berbeda coba disatukan dalam sebuah rumusan baru. Tidak heran jika Dahm dengan menggunakan mode orientalis menyatakan: ‘manifesto komunis yang dihindukan dengan disertai doa menurut agama Islam itu, tidak mungkin muncul dimana pun di muka bumi ini kecuali di Jawa’ (Dahm, 1987: 46 – 47). Selain karena faktor budaya, pengamat lain menilai bahwa apa yang dilakukan Soekarno (mengutamakan persatuan) tidak lebih dari sebuah pilihan taktis politis (Onghokham, 2009). Dalam pengertian ini, Soekarno sebagai zoon politicon adalah lebih kental dibanding Soekarno sebagai seorang pemikir yang dipengaruhi filosofi Jawa. Dengan demikian, pertanyaan penting yang kiranya perlu dijawab ialah: mengapa ide persatuan nampak menjadi sangat menonjol dalam gagasan Soekarno? Apakah ini merupakan murni manifestasi dari seorang penganut sinkretisme Jawa? Atau ajakan persatuan itu tidak lebih dari sebuah langkah taktis (politis) bagi pencapaian tujuannya? Lalu apa implikasi hal itu bagi sebuah kawasan yang bernama Indonesia?

Masa Pra Kemerdekaan: Sinkretisme = Tujuan Politik?

Gagasan Soekarno mengenai persatuan begitu menonjol pada masa pergerakan. Kesadaran sintesa ideologis yang telah ia miliki saat menjelang kuliah di Bandung akhirnya ia tuangkan dalam dokumen penting pada 1926. Kemampuan sintesis (sinkretis?) yang ia rumuskan itu kemudian ditindaklanjuti Soekarno dengan sebuah langkah konkret berupa pembentukan front persatuan (PPPKI)[2]. Gagasan persatuan Soekarno berlanjut ketika tahap pembentukan dasar negara. Pancasila menjadi dokumen pemersatu bagi lahirnya Indonesia.
Pembentukan Front PPPKI 1927. Pada kuartal terakhir 1926, Soekarno menulis ‘manifesto’ gagasannya dalam Indonesia Muda dengan tajuk ‘Nasionalisme, Islam dan Marxisme’ (NASAMAR)[3]. Gagasan semacam ini nampak didorong oleh kondisi objektif saat itu. Tidak adanya persatuan dan bahkan saling serang antar aliran baik organisasi pergerakan, serikat buruh, maupun keagamaan menjadi latar belakang yang tepat bagi Soekarno untuk bertindak. Dengan tulisannya, Soekarno menyerukan kerjasama yang lebih erat antar ketiga golongan ideologis yang dominan itu (NASAMAR). Cara yang dilakukan Soekarno adalah unik. Langkah pertama adalah menunjukkan adanya ‘musuh bersama’, yaitu Belanda. Namun tidak berhenti disini, Soekarno mencari sumber persatuan yang lain. Ia mengatakan bahwa sumber perpecahan dalam pergerakan itu semua hanya karena ‘salah mengerti’. Soekarno berupaya membuat kerangka bersama bagi berbagai aliran politik yang ada.  
Cara Soekarno yang pertama adalah membuat seruan kepada kaum nasionalis agar memahami nasionalisme secara lebih luas. Menurut Soekarno, ‘..rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnya udara yang member tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segal hal yang hidup’ (cq. Dahm, 1987: 82). Yang penting menurut Soekarno adalah rasa cinta kepada sesama manusia di Timur yang dia pertentangkan dengan manusia Barat yang imperialis. Dengan pengertian yang ‘luas’ itu, nasionalisme merupakan titik temu semua unsur anti-imperialisme Barat. Maka tidak ada alasan bagi kelompok nasionalis untuk tidak bekerjasama dengan aliran politik yang lain. Setelah menyeru kelompok nasionalis, Soekarno sekarang menyeru kelompok Islam.  Menurutnya, tugas nasionalis dari sebuah Dar ul Islam adalah mengusahakan kesejahteraan bagi tanah air. Dan Soekarno menekankan bahwa pergerakan Islam yang anti-kafir itu pasti memiliki nasionalisme, karena yang menjadi lawan kebanyakan adalah bangsa lain (Barat yang kafir). Soekarno juga menyoroti persamaan Islam dengan Marxisme. Dengan menyederhanakan, Soekarno mengatakan bahwa ‘nilai lebih’ dalam terminology Marxis tidak lain adalah riba dalam pengertian Islam. Karena itu, baik Islam maupun Marxisme punya cita-cita yang sama: sosialisme. Hanya yang satu berasas spiritualisme dan yang belakangan berasas materialism. Untuk itu, kelompok Islam juga harus bekerjasama dengan kelompok lain. Selanjutnya Soekarno menyeru pada golongan Marxis. Dengan mengutip Otto Bauer, Soekarno menyatakan bahwa otonomi nasional merupakan prasyarat bagi realisasi tujuan-tujuan proletariat. Maka, kaum proletar harus bekerjasama dengan kelompok lain dalam kerangka nasionalisme.
Dengan seruan kepada tiga aliran politik besar itu, Soekarno kembali menekankan bahwa kerjasama untuk melawan imperialism adalah sangat dimungkinkan sepanjang prasangka-prasangka ‘salah mengerti’ dapat dihilangkan. Semua perpecahan selama ini hanyalah masalah ‘salah mengerti’. Dengan ‘pelurusan pengertian’ yang telah dilakukannya, Soekarno melihat bahwa kerjasama antar aliran kini dapat dilakukan. Tak seorang pun harus  meninggalkan pendiriannya sendiri. Seorang nasionalis tidak akan harus menjadi seorang Islamis atau Marxis, dan begitu pula sebaliknya (sebuah karakter khas sinkretisme Jawa?).
Tersisihnya PKI dari gelanggang pergerakan setelah percobaan pemberontakan November 1926 dan Januari 1927 mempermudah Soekarno menggalang persatuan pergerakan. Setelah mendirikan PNI pada Juli 1927, Soekarno berupaya membangun front persatuan pergerakan melawan pemerintah kolonial. Organisasi pergerakan yang tersisa: Budi Utomo, Partai Sarekat Islam, Indonesische Studieclub dan PNI sendiri berusaha disatukan Soekarno dalam Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Dasar yang digunakan Soekarno untuk mempersatukan adalah ‘nasionalisme ketimuran’ yang ia pertentangkan dengan nasionalisme Barat. Berdirinya PPPKI ternyata memang tidak mencapai apa diinginkan oleh Soekarno. Nampaknya justru sistem mufakat dalam PPPKI yang telah menghalangi setiap tindakan yang perlu. Ketentuan bahwa tiap keputusan harus diambil dengan suara bulat telah melumpuhkan federasi itu. Ketidakberdayaan itu tersingkap ketika PPPKI tidak berbuat apapun ketika Soekarno diputuskan bersalah dan dipenjara pada 1930. Pokok perselisihan antara SI (Koperator) dan Studieclub Soetomo (nonkoperator) tidak dapat diselesaikan. Setelah juru pemersatunya ditangkap, maka perselisihan itu muncul lagi dengan sangat sengit. Dengan demikian, meskipun PPKI berhasil membangkitkan kesadaran nasional, ia tidak dapat berfungsi sebagai senjata melawan kekuasaan kolonial, sebagaimana dicitakan Soekarno. Mufakat merupakan musuh keputusan yang tegas, karena setiap pendapat harus diperhitungkan, padahal dalam perjuangan melawan kaum ‘sana’ memerlukan keputusan yang tegas, yang tidak mungkin dicapai antara kaum koperator dengan nonkoperator.
Setelah keluar dari penjara pada Desember 1931, Soekarno bergabung dengan PARTINDO, pengganti PNI Lama yang dibubarkan Sartono. Sekali lagi, Soekarno merumuskan gagasan baru yang intinya juga tetap sama: pentingnya persatuan. Gagasan itu adalah ‘Marhaenisme’ yang terdiri dari ‘sosio-nasionalisme’ dan ‘sosio-demokrasi’. Yang dimaksud Soekarno adalah pentingnya persatuan (nasionalisme) untuk mencapai kemerdekaan. Baru setelah merdeka (jembatan emas) maka upaya menghancurkan kapitalisme (sosio-demokrasi) dapat dilakukan melalui perjuangan kelas. Dengan demikian, Marhaenisme merupakan nasionalisme ketimuran yang ditambah dengan Marxisme. Soekarno meyakini bahwa Marhaenisme perlu menjadi landasan bersama seluruh elemen bangsa. Ini tidak lain karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah kaum Marhaen.[4] Namun ajakan SOekarno tidak mendapat sambutan dari Sjahrir maupun Hatta yang mendirikan PNI Baru. Gagasan Soekarno pun menguap setelah ia kembali ditangkap pada Agustus 1933 akibat politik non-koperasinya yang keras.
Perumusan Pancasila. Pidato Soekarno pada 1 Juni di depan sidang BPUPKI merupakan kelanjutan dari gagasan persatuan yang ia usung sejak masa pergerakan. Kata Soekarno “Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari suatu ‘weltanschauung’ yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju!” (cq. Dahm, 1987: 410). Menjadi jelas sekarang bahwa tujuan utama Soekarno saat itu adalah menawarkan suatu sistem filsafat yang bias diterima oleh semua pihak. Agar bias diterima semua pihak, Soekarno kembali pada gagasannya di tahun 1926. Ketiga aliran besar politik Indonesia harus bisa ditampung. Soekarno merumuskan lima butir asas bagi dasar negara. Pertama adalah ‘kebangsaan’. Tapi bukan kebangsaan yang sempit, tapi harus mampu member hidup semua yang hidup. Asas ini tentu saja diinspirasi dari partai-partai nasionalis seperti NIP dan Studieclub Soetomo. Asas kedua ialah ‘kemanusiaan/internasionalisme’. Yang dimaksud Soekarno adalah persaudaraan antar manusia Timur dengan mengecualikan manusia Barat (karena mereka imperialis). Ide ini diinspirasi oleh golongan Islam dan Komunis. Asas ketiga yaitu ‘mufakat/demokrasi’. Penekanan Soekarno dalam hal ini adalah bahwa semua pihak benar-benar diwakili dan melalui asas mufakat agar  hak golongan minoritas untuk didengar terjamin. Asas ini tentu saja merupakan keinginan semua golongan, terutama kelompok minoritas. Asas keempat yang diusulkan Soekarno ialah ‘keadilan sosial’ yang merupakan harapan dari kaum Marxis. Asas kelima adalah Ketuhanan yang Maha Esa sebagai keyakinan golongan orang beragama atau mereka yang ‘memerlukan’ Tuhan.
Dengan demikian, Soekarno berusaha membangun fondasi Negara Indonesia merujuk pada aliran politik yang telah hidup sebelumnya. Sehingga menurutnya, sintesa dari berbagai aliran itu tinggal dipraktekkan menjadi dasar Negara. Pancasila merupakan upaya memberikan landasan bersama bagi aliran-aliran politik yang heterogen itu dalam sebuah negara baru. Namun sebagaimana Van Der kroef menyatakan, Pancasila tidak lebih dari ‘mangkuk tanpa isi’. Dan benar saja, pada tahun 1950-an Pancasila kembali dipersoalkan. Karena asas ketiga misalnya, seruan untuk bermufakat dapat berarti mencegah partai-partai politik (demokrasi liberal) menjadi faktor penentu dalam percaturan politik Indonesia. Setelah kegagalan mempertanyakan Pancasila pada 1950-an, Pancasila seolah-olah sudah ‘tutup buku’. Orde Baru bukannya mengubahnya, tapi menginterpretasikan Pancasila sesuai kepentingannya. Pasca Soeharto diwarnai ancama perpecahan bangsa, Pancasila juga tidak kunjung diperbincangkan lagi. Selama Pancasila yang asasnya begitu luas dan umum itu tidak diperbincangkan dan kemudian diarahkan ke kegiatan praktis, kiranya Pancasila akan makin kehilangan peran di masa-masa mendatang dalam membentuk Indonesia, bagai ‘mangkuk tanpa isi’.

Masa Kemerdekaan: Sinkretisme ≠ Realitas Politik?

Berbeda dengan masa pra kemerdekaan ketika gagasan sintesa Soekarno memperoleh basis objektifnya guna mengusir kaum imperialis, gagasan Soekarno makin diragukan pasca Kemerdekaan. Upaya Soekarno untuk berkuasa (mempersatukan) pada awal kemerdekaan gagal karena masa lalunya dengan Jepang. Demokrasi parlementer yang makin menonjolkan perbedaan aliran politik tambah membuat Soekarno resah sekaligus tidak berdaya. Baru setelah memperoleh kesempatan pada 1959, Soekarno membubarkan parlemen dan kembali pada gagasannya tentang persatuan yang ia wujudkan dalam NASAKOM. Tidak lama setelahnya, Soekarno justru jatuh dari permainan yang ia ciptakan sendiri. Apakah ini karena Soekarno tidak menimbang realitas politik dengan matang? atau apakah ini karena kuatnya kesadaran sinkretis (persatuan) dalam dirinya?
Kekuasaan Dicabut. Setelah keluar Maklumat X yang mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja KNIP, kekuasaan Soekarno berangsur tapi pasti menyusut drastik. Badan Pekerja menjadi semacam legislative yang bekerjasama dengan Presiden. Ditambah lagi, pada November 1945, Sjahrir sebagai ketua BP KNIP mengumumkan ijin bagi pendirian partai-partai politik. Dalam waktu empat minggu saja, Soekarno diturunkan derajatnya dari penguasa absolute menjadi pemimpin tanpa kekuasaan apa-apa. Negara sentralistis yang menurut Soekarno penting untuk menyelesaikan Revolusi, diubah menjadi demokrasi parlementer, sebuah sistem yang sangat dibenci Soekarno. Mengapa Soekarno tidak melawan? Apakah ini mencerminkan ketidaksukaan pada konflik dan mementingkan persatuan ala sinkretisme Jawa atau sebuah pilihan taktis? Ini nampaknya karena situasi saat itu sedang dalam keadaan kritis bagi Soekarno sendiri. Orang-orang Belanda dilarang untuk berunding dengan Soekarno karena perannya pada masa Jepang. Soekarno menyadari bahwa dalam keadaan seperti itu, Sjahrir adalah orang yang paling tepat untuk tampil ke depan. Dalam masa itu, mempertahankan Republik yang baru lahir adalah segala-galanya yang harus diutamakan. Pada perkembangan berikutnya memang menunjukkan bahwa Sjahrir dan kabinet selanjutnya berhasil membawa pengakuan kedaulatan Indonesia dari sang Meener Belanda pada tahun 1949.
Demokrasi Terpimpin dan NASAKOM. Memasuki awal 1950-an, ketidaksukaan Soekarno terhadap demokrasi parlementer yang membuatnya tidak berdaya, semakin terlihat. Memang pada 1952, Soekarno menolak ajakan perwira-perwira AD yang tidak puas dengan demokrasi parlementer (karena kekuasaan militer ditempatkan dibawah kekuatan sipil) untuk membentuk triumvirat yang terdiri atas Hatta, Sri Sultan dan Soekarno sendiri dengan membubarkan parlemen. Namun penolakan Soekarno itu lebih karena ia sendiri masih lemah. Soekarno masih meraba-raba kekuatan mana yang sehaluan dengan visinya bahwa revolusi belum selesai. PKI yang baru mulai disusun kembali, Murba dan PNI telah memberikan respon positif. Tentu saja visi Soekarno ditolak oleh PSI dan Masjumi dengan tokohnya Sjahrir dan Moh. Natsir. Kondisi berubah setelah Pemilu 1955. PSI dan Masjumi ternyata memperoleh suara yang lebih kecil daripada perkiraan sebelumnya. Dengan dukungan PKI dan lawan lain dari PSI dan Masjumi, Soekarno kini berani terang-terangan menyerang demokrasi parlementer. Ia menyalahkan sistem itu yang membuat keterpurukan ekonomi dan politik, korupsi hingga pemberontakan di daerah. Pada tahun 1956, Soekarno bahkan menyatakan keinginannya untuk mengubur partai-partai politik. Kunjungannya ke negara sosialis pada tahun yang sama nampak memperkukuh keyakinannya bahwa hanya dengan ‘sentralisme-demokratis’ atau demokrasi terpimpin yang dapat mengantar masyarakat Indonesia pada kemakmuran dan keadilan.
Soekarno memperoleh momentum pada Maret 1957 ketika diberlakukan keadaan perang dan darurat perang untuk merespon pemberontakan di luar Jawa. Setelah pengumuman ini, sebenarnya Demokrasi Parlementer telah berakhir (Feith, 1962). Memang baru dua tahun kemudian, pada Juli 1959, Soekarno dengan dukungan AD mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen dan kembali pada UUD 1945. Maret 1960, Soekarno membentuk DPR/MPR Gotong Royong yang menurutnya cocok dengan asaa mufakat yang ia usung sebagai asas ketiga dalam Pancasila. Pada Agustus 1960, Soekarno akhirnya membubarkan partai politik yang tidak sejalan dengannya: PSI dan Masjumi dengan dalih terlibat pemberontakan daerah. Pada saat yang sama, Soekarno membentuk Dewan Pusat Front Nasional yang bermaksud mencakup golongan Nasionalis, Agama dan Komunis dengan disingkat NASAKOM. Dengan demikian, Soekarno telah memberi nama baru bagi apa yang sudah sejak lama (NASAMAR 1926) diidamkannya: pergerakan nasional tunggal yang mencakup semua aliran politik yang ada.
Sayangnya, persatuan yang diidamkan Soekarno itu ambruk dan gagal mencapai tujuan akhirnya mewujudkan masyarakat yang makmur dan adil. Demokrasi Terpimpin sangat tergantung pada kemampuan persuasi Soekarno dan loyalitas dua blok terkuat saat itu: PKI dan TNI AD. Namun tentu saja loyalitas itu meragukan. Sebagai calon pewaris kekuasaan yang saling bersaing, dua blok saling mengawasi kegiatan lawan masing-masing dengan kecurigaan yang besar. Konsep filosofis NASAKOM tidak mampu menjembatani dua kekuatan itu beserta massa pendukung mereka. NASAKOM karenanya tidak lebih dari rumusan kosong yang secara konseptual sudah rancu dan memang tidak dapat dilakukan di lapangan. Ketika isu kesehatan Soekarno yang memburuk semakin kencang, ketika itu pula persaingan dua calon pewaris kekuasaan makin runcing dan memanas. Munculnya isu Dewan Jenderal dan berbagai versi skandal yang menyertainya pada 1965 akhirnya justru memakan korban sang tuannya sendiri: Soekarno. Sungguh ironis memang, yang menjatuhkan Soekarno bukanlah karena ia telah menyimpang dari cita-cita dan konsep-konsepnya yang lama, melainkan justru karena ia tidak mau meninggalkan konsep itu setelah nilai-nilai itu dipertanyakan.

Penutup

Nampaknya memang hampir mustahil bagi kita untuk menentukan apakah tindakan ‘persatuan’ Soekarno hanya murni merupakan perwujudan kebudayaan Jawa atau secara eksklusif semata-mata karena alasan taktis. Manusia bukanlah kepingan logam yang bisa dipisahkan secara tegas begitu rupa. Suatu tindakan yang dilihat sebagai taktis tidak bisa tidak berkaitan dengan kesadaran. Baik Dahm maupun Onghokham menyadari betul hal ini.
Oleh karena itu, kiranya yang lebih penting dari itu adalah implikasi pengutamaan ‘persatuan’yang membabi buta itu bagi Indonesia. Menjadikan persatuan sebagai nilai utama mungkin saja berguna dalam kondisi dimana terdapat musuh bersama yang jelas (Penjajah). Soekarno memperlihatkan kelihaannya dalam membaca karakter sebuah embrio bangsa yang majemuk. Kemajemukan dalam berbagai hal (ideologi, ekonomi, social, budaya) itu berhasil dirangkum Soekarno dalam term “sini” dengan menunjuk pada kesamaan penderitaan yang kebetulan adalah rakyat kulit berwarna, yang kemudian dia pertentangkan dengan term “sana” yang menunjuk pada ras kulit putih pada umumnya (Belanda). Dengan demikian, pembentukan front PPKI dan kemudian perumusan Pancasila yang merupakan bentuk persatuan, berhasil mengantar Indonesia menuju kemerdekaan dari “sana”, menghampiri sebuah Jembatan Emas.
Secara konsisten, Soekarno tetap menganut gagasan tentang ‘persatuan’ pada 1959, empat belas tahun setelah kekuasaannya dilucuti parlemen. NASAKOM sebagai gagasan yang telah memiliki akar pada 1926 dimunculkan kembali. Namun tidak lama setelah terbentuk, Soekarno justru tersungkur dalam permainan ciptaannya sendiri. Keyakinan yang begitu kuat akan pentingnya persatuan dengan mengabaikan realitas konflik yang ada telah membutakan Soekarno. Konflik bukannya coba diterima sebagai kenyataan dan kemudian menciptakan mekanisme mediasi konflik yang memadai, namun Soekarno justru menganggap konflik itu tidak ada atau setidaknya tidak perlu ada. Akhirnya, sebuah adu kekuatan yang berujung pada pembantai massal mengakhiri eksperimen persatuan ala Soekarno.

Catatan
[1] Disampaikan dalam Forum Diskusi “Masyarakat Bawah Pohon” Yogyakarta, 30 Oktober 2011.
[2] Kesadaran Soekarno tentang pentingnya persatuan sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1921. Menjadi saksi bagi pertarungan perebutan kekuasaan dalam SI memberikan kesan yang mendalam bagi Soekarno. Menurutnya, ketiga aliran dalam SI tidak perlu saling bertikai karena pada dasarnya ketiganya sama, yaitu berupaya memajukan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, menjelang tahun 1921 (lulus HBS), Soekarno sudah berupaya mensintesakan berbagai ideologi yang berbeda demi menentukan posisinya sendiri. Meski begitu, tentu saja sintesa ini masih berupa benih. Soekarno belum memikirkan upaya konkrit apa untuk menyatukan semua aliran politik yang beroperasi di Indonesia. Langkah itu baru akan ia lakukan 5 tahun kemudian (1926).
[3] Soekarno menjadi tidak asing dengan gagasan nasionalisme, kapitalisme-imperialisme, sosialisme hingga ide Pan Islamisme pada masa ia sekolah HBS di Surabaya. Sejak masa HBS di Surabaya (1915-1921), Soekarno belia telah diperkenalkan kepada dunia pergerakan oleh Sang Maestro Pergerakan saat itu, Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam-nya. Kedekatannya dengan dunia pergerakan telah membangkitkan kesadarannya tentang apa yang sedang terjadi. Soekarno meyakini bahwa penderitaan rakyat disebabkan oleh imperialism dan kolonialisme. Ide ini bisa jadi diperolehnya dari gagasan yang tengah hidup dalam SI: sosialisme, Islam dan nasionalisme. Sejak awal sekolah di HBS, ia mengenal ide Marxisme dari gurunya C. Hartogh yang juga merupakan anggota ISDV. Bagi Soekarno, Marxisme menyediakan penjelasan yang rasional mengenai penyebab penderitaan rakyat dan cara untuk mengatasinya. Hingga tahun 1917, Soekarno masih menikmati slogan-slogan komunis terutama dari A. Baars yang kemudian mendirikan PKI pada 1920. Namun pengaruh komunisme tidak begitu dominan lagi ketika Soekarno membaca karya Sun Yat Sen pada 1918 yang menekankan pentingnya nasionalisme. Seruan nasionalisme juga dicetuskan Abdul Muis, sayap kanan SI yang tengah berjuang membendung pengaruh sayap kiri SI yang dipimpin Semaun. Dari ide nasionalisme, Soekarno memperoleh keyakinan bahwa cita-cita menegakkan keadilan social, sebagaimana yang diinginkan kaum komunis, hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu merdeka dari Belanda.

[4] Marhaen adalah nama petani yang dijumpai Soekarno saat masa kuliahnya di Bandung. Soekarno kemudian menggunakan naman Marhaen itu untuk menunjuk pada kelompok masyarakat yang punya (menguasai) alat produksi secara kecil-kecilan sehinga hasilnya tidak cukup besar untuk diakumulasikan sebagaimana halnya kaum kapitalis, tapi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Adams, 2007: 73).

Rujukan (pilihan)

Adams, Cindy. 2007. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Jakarta: Yayasan Bung Karno
Dahm, Bernard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES
Elson, R.E. 2009. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi
Feith. Herbert. 1962. Declineof Constitutional Democracy in Indonesia. New York: Cornell University Press
Lev, Daniel. 1966. Thetransition to Guided Democracy: Indonesian politics, 1957-1959. New York: Cornell University Press
McVey, Ruth. 2009. Kemunculan Komunisme Indonesia.Jakarta: Komunitas Bambu
Mortimer,Rex. 2011. Indonesian Communism Under Soekarno: Ideologi dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Onghokham. 2009. Soekarno, Orang Kiri Revolusi dan G 30S 1965. Jakarta: Komunitas Bambu
Van Niel, Robert. 2009. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar