Oleh Mochtar Habibi
“Sosialisme,
komunisme, inkarnasi-inkarnasi Vishnu Murti, bangkitlah dimana-mana!
Hapuskan kapitalisme yang didukung oleh imperialisme yang merupakan
budaknya! Semoga Tuhan memberikan kekuatan pada Islam agar berhasil…”
(Soekarno, IPO 1921)
Pendahuluan
Membicarakan
Soekarno tidak akan habis dalam satu – dua jam. Untuk itu, kita perlu
memilih salah satu sudut pandang dalam melihat seorang Soekarno. Salah
satu perspektif yang penting dan menarik untuk didiskusikan adalah peran
Soekarno yang begitu menonjol dalam mempersatukan sebuah deretan
kepulauan yang kemudian diberi nama Indonesia. Soekarno memang dikenal
sebagai Bapak Pemersatu. Sepanjang karirnya, Soekarno sangat kukuh
menyatukan berbagai aliran politik yang ada di Indonesia. Persatuan,
selain berhasil membawa kemerdekaan, juga membawa malapetaka sejarah
yang terjadi pada tahun 1965. Ada pengamat yang menilai, kecenderungan
Soekarno untuk selalu mengutamakan persatuan dipengaruhi oleh budaya
sinkretisme Jawa yang dibentuk sejak masa kecilnya (Dahm, 1987). Dalam
sinkretisme Jawa, ‘semua hal adalah satu’. Yang perlu dicari dari hal
yang berbeda adalah persamaannya. Itu pula yang tercermin dalam kutipan
tulisan Soekarno diatas. Bagaimana berbagai aliran prinsip yang sangat
berbeda coba disatukan dalam sebuah rumusan baru. Tidak heran jika Dahm
dengan menggunakan mode orientalis menyatakan: ‘manifesto komunis yang
dihindukan dengan disertai doa menurut agama Islam itu, tidak mungkin
muncul dimana pun di muka bumi ini kecuali di Jawa’ (Dahm, 1987: 46 –
47). Selain karena faktor budaya, pengamat lain menilai bahwa apa yang
dilakukan Soekarno (mengutamakan persatuan) tidak lebih dari sebuah
pilihan taktis politis (Onghokham, 2009). Dalam pengertian ini, Soekarno
sebagai zoon politicon adalah lebih kental dibanding Soekarno
sebagai seorang pemikir yang dipengaruhi filosofi Jawa. Dengan demikian,
pertanyaan penting yang kiranya perlu dijawab ialah: mengapa ide
persatuan nampak menjadi sangat menonjol dalam gagasan Soekarno? Apakah
ini merupakan murni manifestasi dari seorang penganut sinkretisme Jawa?
Atau ajakan persatuan itu tidak lebih dari sebuah langkah taktis
(politis) bagi pencapaian tujuannya? Lalu apa implikasi hal itu bagi
sebuah kawasan yang bernama Indonesia?
Masa Pra Kemerdekaan: Sinkretisme = Tujuan Politik?
Gagasan
Soekarno mengenai persatuan begitu menonjol pada masa pergerakan.
Kesadaran sintesa ideologis yang telah ia miliki saat menjelang kuliah
di Bandung akhirnya ia tuangkan dalam dokumen penting pada 1926.
Kemampuan sintesis (sinkretis?) yang ia rumuskan itu kemudian
ditindaklanjuti Soekarno dengan sebuah langkah konkret berupa
pembentukan front persatuan (PPPKI)[2]. Gagasan persatuan Soekarno
berlanjut ketika tahap pembentukan dasar negara. Pancasila menjadi
dokumen pemersatu bagi lahirnya Indonesia.
Pembentukan Front PPPKI 1927. Pada kuartal terakhir 1926, Soekarno menulis ‘manifesto’ gagasannya dalam Indonesia Muda dengan
tajuk ‘Nasionalisme, Islam dan Marxisme’ (NASAMAR)[3]. Gagasan semacam
ini nampak didorong oleh kondisi objektif saat itu. Tidak adanya
persatuan dan bahkan saling serang antar aliran baik organisasi
pergerakan, serikat buruh, maupun keagamaan menjadi latar belakang yang
tepat bagi Soekarno untuk bertindak. Dengan tulisannya, Soekarno
menyerukan kerjasama yang lebih erat antar ketiga golongan ideologis
yang dominan itu (NASAMAR). Cara yang dilakukan Soekarno adalah unik.
Langkah pertama adalah menunjukkan adanya ‘musuh bersama’, yaitu
Belanda. Namun tidak berhenti disini, Soekarno mencari sumber persatuan
yang lain. Ia mengatakan bahwa sumber perpecahan dalam pergerakan itu
semua hanya karena ‘salah mengerti’. Soekarno berupaya membuat kerangka
bersama bagi berbagai aliran politik yang ada.
Cara
Soekarno yang pertama adalah membuat seruan kepada kaum nasionalis agar
memahami nasionalisme secara lebih luas. Menurut Soekarno, ‘..rasa cinta
bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain
sesuatu, sebagai lebar dan luasnya udara yang member tempat pada segenap
sesuatu yang perlu untuk hidupnya segal hal yang hidup’ (cq. Dahm,
1987: 82). Yang penting menurut Soekarno adalah rasa cinta kepada sesama
manusia di Timur yang dia pertentangkan dengan manusia Barat yang
imperialis. Dengan pengertian yang ‘luas’ itu, nasionalisme merupakan
titik temu semua unsur anti-imperialisme Barat. Maka tidak ada alasan
bagi kelompok nasionalis untuk tidak bekerjasama dengan aliran politik
yang lain. Setelah menyeru kelompok nasionalis, Soekarno sekarang
menyeru kelompok Islam. Menurutnya, tugas nasionalis dari sebuah Dar ul
Islam adalah mengusahakan kesejahteraan bagi tanah air. Dan Soekarno
menekankan bahwa pergerakan Islam yang anti-kafir itu pasti memiliki
nasionalisme, karena yang menjadi lawan kebanyakan adalah bangsa lain
(Barat yang kafir). Soekarno juga menyoroti persamaan Islam dengan
Marxisme. Dengan menyederhanakan, Soekarno mengatakan bahwa ‘nilai
lebih’ dalam terminology Marxis tidak lain adalah riba dalam pengertian
Islam. Karena itu, baik Islam maupun Marxisme punya cita-cita yang sama:
sosialisme. Hanya yang satu berasas spiritualisme dan yang belakangan
berasas materialism. Untuk itu, kelompok Islam juga harus bekerjasama
dengan kelompok lain. Selanjutnya Soekarno menyeru pada golongan Marxis.
Dengan mengutip Otto Bauer, Soekarno menyatakan bahwa otonomi nasional
merupakan prasyarat bagi realisasi tujuan-tujuan proletariat. Maka, kaum
proletar harus bekerjasama dengan kelompok lain dalam kerangka
nasionalisme.
Dengan seruan kepada tiga aliran politik besar itu,
Soekarno kembali menekankan bahwa kerjasama untuk melawan imperialism
adalah sangat dimungkinkan sepanjang prasangka-prasangka ‘salah
mengerti’ dapat dihilangkan. Semua perpecahan selama ini hanyalah
masalah ‘salah mengerti’. Dengan ‘pelurusan pengertian’ yang telah
dilakukannya, Soekarno melihat bahwa kerjasama antar aliran kini dapat
dilakukan. Tak seorang pun harus meninggalkan pendiriannya sendiri.
Seorang nasionalis tidak akan harus menjadi seorang Islamis atau Marxis,
dan begitu pula sebaliknya (sebuah karakter khas sinkretisme Jawa?).
Tersisihnya
PKI dari gelanggang pergerakan setelah percobaan pemberontakan November
1926 dan Januari 1927 mempermudah Soekarno menggalang persatuan
pergerakan. Setelah mendirikan PNI pada Juli 1927, Soekarno berupaya
membangun front persatuan pergerakan melawan pemerintah kolonial.
Organisasi pergerakan yang tersisa: Budi Utomo, Partai Sarekat Islam, Indonesische Studieclub
dan PNI sendiri berusaha disatukan Soekarno dalam Permufakatan
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Dasar yang digunakan
Soekarno untuk mempersatukan adalah ‘nasionalisme ketimuran’ yang ia
pertentangkan dengan nasionalisme Barat. Berdirinya PPPKI ternyata
memang tidak mencapai apa diinginkan oleh Soekarno. Nampaknya justru
sistem mufakat dalam PPPKI yang telah menghalangi setiap tindakan yang
perlu. Ketentuan bahwa tiap keputusan harus diambil dengan suara bulat
telah melumpuhkan federasi itu. Ketidakberdayaan itu tersingkap ketika
PPPKI tidak berbuat apapun ketika Soekarno diputuskan bersalah dan
dipenjara pada 1930. Pokok perselisihan antara SI (Koperator) dan Studieclub
Soetomo (nonkoperator) tidak dapat diselesaikan. Setelah juru
pemersatunya ditangkap, maka perselisihan itu muncul lagi dengan sangat
sengit. Dengan demikian, meskipun PPKI berhasil membangkitkan kesadaran
nasional, ia tidak dapat berfungsi sebagai senjata melawan kekuasaan
kolonial, sebagaimana dicitakan Soekarno. Mufakat merupakan musuh
keputusan yang tegas, karena setiap pendapat harus diperhitungkan,
padahal dalam perjuangan melawan kaum ‘sana’ memerlukan keputusan yang
tegas, yang tidak mungkin dicapai antara kaum koperator dengan
nonkoperator.
Setelah keluar dari penjara pada Desember 1931,
Soekarno bergabung dengan PARTINDO, pengganti PNI Lama yang dibubarkan
Sartono. Sekali lagi, Soekarno merumuskan gagasan baru yang intinya juga
tetap sama: pentingnya persatuan. Gagasan itu adalah ‘Marhaenisme’ yang
terdiri dari ‘sosio-nasionalisme’ dan ‘sosio-demokrasi’. Yang dimaksud
Soekarno adalah pentingnya persatuan (nasionalisme) untuk mencapai
kemerdekaan. Baru setelah merdeka (jembatan emas) maka upaya
menghancurkan kapitalisme (sosio-demokrasi) dapat dilakukan melalui
perjuangan kelas. Dengan demikian, Marhaenisme merupakan nasionalisme
ketimuran yang ditambah dengan Marxisme. Soekarno meyakini bahwa
Marhaenisme perlu menjadi landasan bersama seluruh elemen bangsa. Ini
tidak lain karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah kaum
Marhaen.[4] Namun ajakan SOekarno tidak mendapat sambutan dari Sjahrir
maupun Hatta yang mendirikan PNI Baru. Gagasan Soekarno pun menguap
setelah ia kembali ditangkap pada Agustus 1933 akibat politik
non-koperasinya yang keras.
Perumusan Pancasila. Pidato
Soekarno pada 1 Juni di depan sidang BPUPKI merupakan kelanjutan dari
gagasan persatuan yang ia usung sejak masa pergerakan. Kata Soekarno
“Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari suatu ‘weltanschauung’
yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju!” (cq. Dahm, 1987:
410). Menjadi jelas sekarang bahwa tujuan utama Soekarno saat itu adalah
menawarkan suatu sistem filsafat yang bias diterima oleh semua pihak.
Agar bias diterima semua pihak, Soekarno kembali pada gagasannya di
tahun 1926. Ketiga aliran besar politik Indonesia harus bisa ditampung.
Soekarno merumuskan lima butir asas bagi dasar negara. Pertama adalah
‘kebangsaan’. Tapi bukan kebangsaan yang sempit, tapi harus mampu member
hidup semua yang hidup. Asas ini tentu saja diinspirasi dari
partai-partai nasionalis seperti NIP dan Studieclub Soetomo.
Asas kedua ialah ‘kemanusiaan/internasionalisme’. Yang dimaksud Soekarno
adalah persaudaraan antar manusia Timur dengan mengecualikan manusia
Barat (karena mereka imperialis). Ide ini diinspirasi oleh golongan
Islam dan Komunis. Asas ketiga yaitu ‘mufakat/demokrasi’. Penekanan
Soekarno dalam hal ini adalah bahwa semua pihak benar-benar diwakili dan
melalui asas mufakat agar hak golongan minoritas untuk didengar
terjamin. Asas ini tentu saja merupakan keinginan semua golongan,
terutama kelompok minoritas. Asas keempat yang diusulkan Soekarno ialah
‘keadilan sosial’ yang merupakan harapan dari kaum Marxis. Asas kelima
adalah Ketuhanan yang Maha Esa sebagai keyakinan golongan orang beragama
atau mereka yang ‘memerlukan’ Tuhan.
Dengan demikian, Soekarno
berusaha membangun fondasi Negara Indonesia merujuk pada aliran politik
yang telah hidup sebelumnya. Sehingga menurutnya, sintesa dari berbagai
aliran itu tinggal dipraktekkan menjadi dasar Negara. Pancasila
merupakan upaya memberikan landasan bersama bagi aliran-aliran politik
yang heterogen itu dalam sebuah negara baru. Namun sebagaimana Van Der
kroef menyatakan, Pancasila tidak lebih dari ‘mangkuk tanpa isi’. Dan
benar saja, pada tahun 1950-an Pancasila kembali dipersoalkan. Karena
asas ketiga misalnya, seruan untuk bermufakat dapat berarti mencegah
partai-partai politik (demokrasi liberal) menjadi faktor penentu dalam
percaturan politik Indonesia. Setelah kegagalan mempertanyakan Pancasila
pada 1950-an, Pancasila seolah-olah sudah ‘tutup buku’. Orde Baru
bukannya mengubahnya, tapi menginterpretasikan Pancasila sesuai
kepentingannya. Pasca Soeharto diwarnai ancama perpecahan bangsa,
Pancasila juga tidak kunjung diperbincangkan lagi. Selama Pancasila yang
asasnya begitu luas dan umum itu tidak diperbincangkan dan kemudian
diarahkan ke kegiatan praktis, kiranya Pancasila akan makin kehilangan
peran di masa-masa mendatang dalam membentuk Indonesia, bagai ‘mangkuk
tanpa isi’.
Masa Kemerdekaan: Sinkretisme ≠ Realitas Politik?
Berbeda
dengan masa pra kemerdekaan ketika gagasan sintesa Soekarno memperoleh
basis objektifnya guna mengusir kaum imperialis, gagasan Soekarno makin
diragukan pasca Kemerdekaan. Upaya Soekarno untuk berkuasa
(mempersatukan) pada awal kemerdekaan gagal karena masa lalunya dengan
Jepang. Demokrasi parlementer yang makin menonjolkan perbedaan aliran
politik tambah membuat Soekarno resah sekaligus tidak berdaya. Baru
setelah memperoleh kesempatan pada 1959, Soekarno membubarkan parlemen
dan kembali pada gagasannya tentang persatuan yang ia wujudkan dalam
NASAKOM. Tidak lama setelahnya, Soekarno justru jatuh dari permainan
yang ia ciptakan sendiri. Apakah ini karena Soekarno tidak menimbang
realitas politik dengan matang? atau apakah ini karena kuatnya kesadaran
sinkretis (persatuan) dalam dirinya?
Kekuasaan Dicabut. Setelah
keluar Maklumat X yang mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja KNIP,
kekuasaan Soekarno berangsur tapi pasti menyusut drastik. Badan Pekerja
menjadi semacam legislative yang bekerjasama dengan Presiden. Ditambah
lagi, pada November 1945, Sjahrir sebagai ketua BP KNIP mengumumkan ijin
bagi pendirian partai-partai politik. Dalam waktu empat minggu saja,
Soekarno diturunkan derajatnya dari penguasa absolute menjadi pemimpin
tanpa kekuasaan apa-apa. Negara sentralistis yang menurut Soekarno
penting untuk menyelesaikan Revolusi, diubah menjadi demokrasi
parlementer, sebuah sistem yang sangat dibenci Soekarno. Mengapa
Soekarno tidak melawan? Apakah ini mencerminkan ketidaksukaan pada
konflik dan mementingkan persatuan ala sinkretisme Jawa atau sebuah
pilihan taktis? Ini nampaknya karena situasi saat itu sedang dalam
keadaan kritis bagi Soekarno sendiri. Orang-orang Belanda dilarang untuk
berunding dengan Soekarno karena perannya pada masa Jepang. Soekarno
menyadari bahwa dalam keadaan seperti itu, Sjahrir adalah orang yang
paling tepat untuk tampil ke depan. Dalam masa itu, mempertahankan
Republik yang baru lahir adalah segala-galanya yang harus diutamakan.
Pada perkembangan berikutnya memang menunjukkan bahwa Sjahrir dan
kabinet selanjutnya berhasil membawa pengakuan kedaulatan Indonesia dari
sang Meener Belanda pada tahun 1949.
Demokrasi Terpimpin dan NASAKOM. Memasuki
awal 1950-an, ketidaksukaan Soekarno terhadap demokrasi parlementer
yang membuatnya tidak berdaya, semakin terlihat. Memang pada 1952,
Soekarno menolak ajakan perwira-perwira AD yang tidak puas dengan
demokrasi parlementer (karena kekuasaan militer ditempatkan dibawah
kekuatan sipil) untuk membentuk triumvirat yang terdiri atas Hatta, Sri
Sultan dan Soekarno sendiri dengan membubarkan parlemen. Namun penolakan
Soekarno itu lebih karena ia sendiri masih lemah. Soekarno masih
meraba-raba kekuatan mana yang sehaluan dengan visinya bahwa revolusi
belum selesai. PKI yang baru mulai disusun kembali, Murba dan PNI telah
memberikan respon positif. Tentu saja visi Soekarno ditolak oleh PSI dan
Masjumi dengan tokohnya Sjahrir dan Moh. Natsir. Kondisi berubah
setelah Pemilu 1955. PSI dan Masjumi ternyata memperoleh suara yang
lebih kecil daripada perkiraan sebelumnya. Dengan dukungan PKI dan lawan
lain dari PSI dan Masjumi, Soekarno kini berani terang-terangan
menyerang demokrasi parlementer. Ia menyalahkan sistem itu yang membuat
keterpurukan ekonomi dan politik, korupsi hingga pemberontakan di
daerah. Pada tahun 1956, Soekarno bahkan menyatakan keinginannya untuk
mengubur partai-partai politik. Kunjungannya ke negara sosialis pada
tahun yang sama nampak memperkukuh keyakinannya bahwa hanya dengan
‘sentralisme-demokratis’ atau demokrasi terpimpin yang dapat mengantar
masyarakat Indonesia pada kemakmuran dan keadilan.
Soekarno
memperoleh momentum pada Maret 1957 ketika diberlakukan keadaan perang
dan darurat perang untuk merespon pemberontakan di luar Jawa. Setelah
pengumuman ini, sebenarnya Demokrasi Parlementer telah berakhir (Feith,
1962). Memang baru dua tahun kemudian, pada Juli 1959, Soekarno dengan
dukungan AD mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen dan kembali pada UUD
1945. Maret 1960, Soekarno membentuk DPR/MPR Gotong Royong yang
menurutnya cocok dengan asaa mufakat yang ia usung sebagai asas ketiga
dalam Pancasila. Pada Agustus 1960, Soekarno akhirnya membubarkan partai
politik yang tidak sejalan dengannya: PSI dan Masjumi dengan dalih
terlibat pemberontakan daerah. Pada saat yang sama, Soekarno membentuk
Dewan Pusat Front Nasional yang bermaksud mencakup golongan Nasionalis,
Agama dan Komunis dengan disingkat NASAKOM. Dengan demikian, Soekarno
telah memberi nama baru bagi apa yang sudah sejak lama (NASAMAR 1926)
diidamkannya: pergerakan nasional tunggal yang mencakup semua aliran
politik yang ada.
Sayangnya, persatuan yang diidamkan Soekarno itu
ambruk dan gagal mencapai tujuan akhirnya mewujudkan masyarakat yang
makmur dan adil. Demokrasi Terpimpin sangat tergantung pada kemampuan
persuasi Soekarno dan loyalitas dua blok terkuat saat itu: PKI dan TNI
AD. Namun tentu saja loyalitas itu meragukan. Sebagai calon pewaris
kekuasaan yang saling bersaing, dua blok saling mengawasi kegiatan lawan
masing-masing dengan kecurigaan yang besar. Konsep filosofis NASAKOM
tidak mampu menjembatani dua kekuatan itu beserta massa pendukung
mereka. NASAKOM karenanya tidak lebih dari rumusan kosong yang secara
konseptual sudah rancu dan memang tidak dapat dilakukan di lapangan.
Ketika isu kesehatan Soekarno yang memburuk semakin kencang, ketika itu
pula persaingan dua calon pewaris kekuasaan makin runcing dan memanas.
Munculnya isu Dewan Jenderal dan berbagai versi skandal yang
menyertainya pada 1965 akhirnya justru memakan korban sang tuannya
sendiri: Soekarno. Sungguh ironis memang, yang menjatuhkan Soekarno
bukanlah karena ia telah menyimpang dari cita-cita dan konsep-konsepnya
yang lama, melainkan justru karena ia tidak mau meninggalkan konsep itu
setelah nilai-nilai itu dipertanyakan.
Penutup
Nampaknya
memang hampir mustahil bagi kita untuk menentukan apakah tindakan
‘persatuan’ Soekarno hanya murni merupakan perwujudan kebudayaan Jawa
atau secara eksklusif semata-mata karena alasan taktis. Manusia bukanlah
kepingan logam yang bisa dipisahkan secara tegas begitu rupa. Suatu
tindakan yang dilihat sebagai taktis tidak bisa tidak berkaitan dengan
kesadaran. Baik Dahm maupun Onghokham menyadari betul hal ini.
Oleh
karena itu, kiranya yang lebih penting dari itu adalah implikasi
pengutamaan ‘persatuan’yang membabi buta itu bagi Indonesia. Menjadikan
persatuan sebagai nilai utama mungkin saja berguna dalam kondisi dimana
terdapat musuh bersama yang jelas (Penjajah). Soekarno memperlihatkan
kelihaannya dalam membaca karakter sebuah embrio bangsa yang majemuk.
Kemajemukan dalam berbagai hal (ideologi, ekonomi, social, budaya) itu
berhasil dirangkum Soekarno dalam term “sini” dengan menunjuk pada
kesamaan penderitaan yang kebetulan adalah rakyat kulit berwarna, yang
kemudian dia pertentangkan dengan term “sana” yang menunjuk pada ras
kulit putih pada umumnya (Belanda). Dengan demikian, pembentukan front
PPKI dan kemudian perumusan Pancasila yang merupakan bentuk persatuan,
berhasil mengantar Indonesia menuju kemerdekaan dari “sana”, menghampiri
sebuah Jembatan Emas.
Secara konsisten, Soekarno tetap menganut
gagasan tentang ‘persatuan’ pada 1959, empat belas tahun setelah
kekuasaannya dilucuti parlemen. NASAKOM sebagai gagasan yang telah
memiliki akar pada 1926 dimunculkan kembali. Namun tidak lama setelah
terbentuk, Soekarno justru tersungkur dalam permainan ciptaannya
sendiri. Keyakinan yang begitu kuat akan pentingnya persatuan dengan
mengabaikan realitas konflik yang ada telah membutakan Soekarno. Konflik
bukannya coba diterima sebagai kenyataan dan kemudian menciptakan
mekanisme mediasi konflik yang memadai, namun Soekarno justru menganggap
konflik itu tidak ada atau setidaknya tidak perlu ada. Akhirnya, sebuah
adu kekuatan yang berujung pada pembantai massal mengakhiri eksperimen
persatuan ala Soekarno.
Catatan
[1] Disampaikan dalam Forum Diskusi “Masyarakat Bawah Pohon” Yogyakarta, 30 Oktober 2011.
[2]
Kesadaran Soekarno tentang pentingnya persatuan sebenarnya telah
dimulai sejak tahun 1921. Menjadi saksi bagi pertarungan perebutan
kekuasaan dalam SI memberikan kesan yang mendalam bagi Soekarno.
Menurutnya, ketiga aliran dalam SI tidak perlu saling bertikai karena
pada dasarnya ketiganya sama, yaitu berupaya memajukan kesejahteraan
rakyat. Dengan demikian, menjelang tahun 1921 (lulus HBS), Soekarno
sudah berupaya mensintesakan berbagai ideologi yang berbeda demi
menentukan posisinya sendiri. Meski begitu, tentu saja sintesa ini masih
berupa benih. Soekarno belum memikirkan upaya konkrit apa untuk
menyatukan semua aliran politik yang beroperasi di Indonesia. Langkah
itu baru akan ia lakukan 5 tahun kemudian (1926).
[3] Soekarno
menjadi tidak asing dengan gagasan nasionalisme,
kapitalisme-imperialisme, sosialisme hingga ide Pan Islamisme pada masa
ia sekolah HBS di Surabaya. Sejak masa HBS di Surabaya (1915-1921),
Soekarno belia telah diperkenalkan kepada dunia pergerakan oleh Sang
Maestro Pergerakan saat itu, Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam-nya.
Kedekatannya dengan dunia pergerakan telah membangkitkan kesadarannya
tentang apa yang sedang terjadi. Soekarno meyakini bahwa penderitaan
rakyat disebabkan oleh imperialism dan kolonialisme. Ide ini bisa jadi
diperolehnya dari gagasan yang tengah hidup dalam SI: sosialisme, Islam
dan nasionalisme. Sejak awal sekolah di HBS, ia mengenal ide Marxisme
dari gurunya C. Hartogh yang juga merupakan anggota ISDV. Bagi Soekarno,
Marxisme menyediakan penjelasan yang rasional mengenai penyebab
penderitaan rakyat dan cara untuk mengatasinya. Hingga tahun 1917,
Soekarno masih menikmati slogan-slogan komunis terutama dari A. Baars
yang kemudian mendirikan PKI pada 1920. Namun pengaruh komunisme tidak
begitu dominan lagi ketika Soekarno membaca karya Sun Yat Sen pada 1918
yang menekankan pentingnya nasionalisme. Seruan nasionalisme juga
dicetuskan Abdul Muis, sayap kanan SI yang tengah berjuang membendung
pengaruh sayap kiri SI yang dipimpin Semaun. Dari ide nasionalisme,
Soekarno memperoleh keyakinan bahwa cita-cita menegakkan keadilan
social, sebagaimana yang diinginkan kaum komunis, hanya dapat dilakukan
dengan terlebih dahulu merdeka dari Belanda.
[4]
Marhaen adalah nama petani yang dijumpai Soekarno saat masa kuliahnya di
Bandung. Soekarno kemudian menggunakan naman Marhaen itu untuk menunjuk
pada kelompok masyarakat yang punya (menguasai) alat produksi secara
kecil-kecilan sehinga hasilnya tidak cukup besar untuk diakumulasikan
sebagaimana halnya kaum kapitalis, tapi hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri (Adams, 2007: 73).
Rujukan (pilihan)
Adams, Cindy. 2007. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Jakarta: Yayasan Bung Karno
Dahm, Bernard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES
Elson, R.E. 2009. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi
Feith. Herbert. 1962. Declineof Constitutional Democracy in Indonesia. New York: Cornell University Press
Lev, Daniel. 1966. Thetransition to Guided Democracy: Indonesian politics, 1957-1959. New York: Cornell University Press
McVey, Ruth. 2009. Kemunculan Komunisme Indonesia.Jakarta: Komunitas Bambu
Mortimer,Rex. 2011. Indonesian Communism Under Soekarno: Ideologi dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Onghokham. 2009. Soekarno, Orang Kiri Revolusi dan G 30S 1965. Jakarta: Komunitas Bambu
Van Niel, Robert. 2009. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar