Oleh Badrul Munir Chair
I
Periode penting dalam kesusastraan Melayu Nusantara diawali pada
peralihan abad ke-16 dan 17 M. bersamaan dengan proses pengislaman
penduduk Nusantara. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara juga
menjadi tonggak sejarah sastra Melayu karena kerajaan-kerajaan Islam
yang membentang mulai dari Sumatera hingga Nusa Tenggara ini mengajarkan
ajaran-ajaran Islam yang ditafsirkan oleh para ahli tasawuf ke dalam
berbagai bidang kehidupan dan ilmu pengetahuan itu ditulis dalam bahasa
Melayu.
Jauh sebelum itu, setidaknya sejak abad ke-13 M. unsur-unsur tasawuf
telah masuk ke dalam kebudayaan Melayu melalui saluran tarekat dan
lembaga pendidikan. Bukti-bukti awal pengaruh pemikiran tasawuf tampak
pada tulisan-tulisan di banyak batu nisan makam raja-raja Pasai dan
Malaka, dan kuburan muslim lain dari abad ke-13-15 M. Selain ayat-ayat
Alquran yang sufistik, pada beberapa batu nisan itu dituliskan sajak
sufistik Sayyidina Ali. Di antaranya pada kepala makam Sultan Malik
al-Saleh, pendiri kerajaan Samudra Pasai, yang wafat tahun 1273 M.
Bahkan terdapat pula petikan sajak-sajak Sa’adi al-Syirazi, penyair sufi
Persia abad ke-13 M pada batu nisan makam seorang muslimah Pasai, Naina
Husamuddin yang wafat pada tahun 1420 M.[1]
Ketika Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511. Sastra
Melayu kemudian mengalami kemandegan selama beberapa tahun. Hingga
kemudian pada tahun 1516 berdirilah sebuah kerajaan Islam lain yaitu
Aceh Darussalam. Kemunculan Aceh Darussalam ini berdampak positif bagi
keberlangsungan sastra Melayu dengan diselenggarakannya kegiatan
penulisan kitab keagamaan dan sastra Melayu. Pada periode ini,
karya-karya Melayu yang ditulis di Pasai dan Malaka disalin kembali
dalam jumlah besar.
Teks-teks Melayu klasik yang dihasilkan pada akhir abad ke-16 M.
hingga abad ke-19 M. jumlahnya sangat melimpah, dengan aneka ragam jenis
dan coraknya. Diantara jenisnya karya-karya tersebut terdapat banyak
naskah yang menceritakan tentang sejarah Nabi Muhammad Saw, hikayat
Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad, hikayat tokoh-tokoh Islam, dan
lain-lain. Karya-karya pada masa itu didominasi oleh karya yang
bernafaskan Islam.
Paparan di atas menunjukkan betapa di periode awal tonggak
kesusastraan di Nusantara diawali oleh tradisi sufistik yang sangat
kental. Sebagian besar karya-karya yang diterbitkan pada masa awal-awal
kemunculan Islam didominasi oleh karya-karya yang dituliskan dalam
balutan sufistik. Tak hanya dalam penggarapan sajak dan sejarah nabi
maupun hikayat-hikayat tokoh-tokoh Islam, naskah-naskah berisi tuntunan
ibadah dan dasar-dasar ajaran Islam pun dituangkan dalam nuansa
sufistik.
Tradisi sufistik di Nusantara sebagaimana yang telah dikemukaan di
atas juga berpengaruh besar kepada penyair-penyair Melayu ketika itu.
Penyair yang paling terkemuka yang mewakili masa itu adalah Syaikh
Hamzah Fansuri, yang telah berhasil membawa kesusastraan Melayu naik ke
tahap perkembangan yang lebih maju. Abdul Hadi mengatakan, Hamzah
Fansuri berhasil merintis tradisi baru di negeri ini, khususnya bidang
penulisan sastra bercorak Islam. Selama tiga abad karyanya telah
memberikan pengaruh mendalam serta menjadi sumber inspirasi bagi para
penulis angkatan-angkatan yang muncul kemudian.[2]
II
Sastra sufistik merupakan ekspresi dari pengalaman kesufian. Rujukan
dan penghayatan mereka adalah Al-quran dan Hadits, maka tidak
mengherankan apabila sastra sufistik mengungkapkan renungan falsafah
hidup yang bertujuan meningkatkan taraf hubungan jiwa manusia dengan
Kenyataan Tertinggi. Sastra sufistik merupakan ekspresi estetik yang
berkenaan dengan zikir dan pikir, yaitu mengingat dan memikirkan Allah.
Allah dengan segala keagungan dan keindahan-Nya menjadi tumpuan utama
renungan penyair-penyair sufi. Puisi Sufistik ditulis untuk membawa
pembaca melakukan kenaikan, pendakian atau mi’raj ke alam malakut dengan segala kesempurnaannya.[3]
Abdul Hadi menyatakan bahwa sastra sufistik dapat disebut juga
sebagai sastra transendental, karena pengalaman yang dipaparkan
penulisnya ialah pengalaman transendental seperti ekstase, kerinduan dan
persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di
atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis. Sementara menurut
Bani Sudardi, sastra sufistik adalah karya sastra yang mengandung ajaran
sufi.
Dalam hal ini, perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan sastra sufi.
Pemilihan istilah sastra sufi sejauh ini karena sastra sufi dianggap
karya sastra yang memiliki kriteria dan identitas yang lebih spesifik
dibandingkan dengan istilah sastra religius atau sastra Islam. Sastra
religius dianggap terlalu luas dan longgar untuk segala karya sastra
yang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran keagamaan tertentu. Setiap
karya sastra dapat diidentifikasi sebagai sastra religius sejauh karya
sastra tersebut, minimal, tidak bertentangan dengan nilai-nilai
religiusitas.[4]
Itulah sebabnya, diperlukan sejumlah kriteria yang cukup jelas, dan
sangat mungkin “penyederhanaan” dalam menempatkan apa yang dimaksud
dengan sastra sufi. Dalam kriterianya, secara umum sebuah karya sastra
baru dianggap memenuhi penyebutan sastra sufi, jika karya sastra itu
terutama dan pertama adalah karya sastra yang mempersoalkan prinsip
Tauhid (prinsip Keesaan Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip
fana-baka, prinsip penetrasi Tuhan dan kehendak bebas manusia, dan
derivasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut. Artinya, jika
sebuah karya tidak mengandung prinsip-prinsip tersebut, karya sastra
tersebut tidak termasuk karya sastra sufi. Dari konsep ini, dapat
diambil kesimpulan bahwa sastra sufi dipastikan berdimensi religius dan
Islami, tetapi tidak berarti sastra religius otomatis sastra sufi.
Braginsky (1994) menyebutkan karya-karya sufi sebagai
karangan-karangan mengenai kesempurnaan ruhani dengan ciri yang
tersendiri dan tujuannya ialah musyahadah, yaitu penyaksian akan
keesaan Allah. Ciri khasnya ialah tidak mementingkan keindahan bentuk
dan menyampaikan tujuannya secara tidak langsung, sebab yang diinginkan
ialah supaya pembaca dapat membuka mata hati mereka dan membawa mereka
melakukan musyahadah. [5]
Sastra sufi memang digunakan sebagai salah satu sarana dakwah Islam
dan cara untuk memantapkan keyakinan terhadap ajaran-ajaran Islam.
Sastra sufi mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut: Pertama, memberi pelajaran. Kedua, memberi hiburan. Ketiga, menambah keyakinan. Dan keempat, memberikan harapan.
Sastra sufistik dapat digolongkan menjadi empat golongan sebagai berikut. Pertama, sastra
sufistik yang berisi kisah nabi dan para sufi yang dapat dijadikan
teladan oleh para sufi. Kisah-kisah tersebut sebagian merupakan
kisah-kisah karangan dan modifikasi. Di dalamnya banyak ditemukan kisah
tentang peristiwa-peristiwa gaib yang mencengangkan. Kedua, sastra
sufistik yang berisi ajaran atau konsepsi sufistik. Dalam karya yang
demikian biasanya dibahas sifat-sifat Tuhan dan asal-usul manusia. Ketiga, sastra
sufistik yang berisi ungkapan pengalaman pencarian Tuhan. Mencari dan
menjumpai Tuhan adalah sesuatu yang pelik dan rumit. Pengalaman itu
kadang-kadang tidak dapat digambarkan, tetapi hanya melaui
simbol-simbol. Keempat, sastra sufistik yang berisi ungkapan
kesatuan dengan Tuhan. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat
dinanti oleh para sufi. Namun demikian, peristiwa ini merupakan suatu
pengalaman pribadi yang sangat sulit digambarkan dengan kata-kata. Oleh
karena itu, pengalaman ini pun banyak digambarkan dengan simbol-simbol
dan perumpamaan-perumpamaan.
Adapun dari segi isi, sastra sufi dapat dibagi menjadi empat golongan. Yaitu:[6] Pertama, cerita
tentang Nabi Muhammad dan sahabatnya. Di kalangan para sufi cerita
tentang Nabi Muhammad sering mengalami seleksi dan kompilasi sesuai
dengan pokok-pokok ajaran sufi. Beberapa cerita sering merupakan cerita
yang tidak lazim ditemukan di kalangan umat pada umumnya, tetapi hanya
beredar di kalangan sufi. Mungkin juga cerita tersebut merupakan
karangan; Kedua, cerita tentang para Nabi, ulama, dan tokoh sufi. Ketiga, cerita
tentang peristiwa dan hal-hal ghaib. Biasanya, dalam tema ini, muncul
pertanyaan-pertanyaan yang meliputi: 1) pertanyaan kosmologis: yaitu
pertanyaan tentang dunia, bumi, langit, bulan, matahari, dan bintang; 2)
pertanyaan eskatologis, yaitu pertanyaan mengenai akhirat dan hal-hal
yang gaib yang hanya diketahui oleh Tuhan, misalnya mengenai surga dan
neraka, hari kiamat, dan Iblis; 3) pertanyaan berupa teka-teki, misalnya
apa yang lebih panas dari api; 4) pertanyaan yang berupa arti bilangan,
misalnya apa yang esa tiada jadi dua, dan seterusnya. Keempat, dongeng-dongeng karangan modifikasi.
III
Hamzah Fansuri diyakini sebagai pemula sastra sufistik di Nusantara.
Selain Hamzah Fansuri, Syekh Syamsudin Sumatrani (1600-an) juga
merupakan tokoh pelopor sastra sufistik Melayu. Samsyudin ditengarai
sebagai pengikut Hamzah Fansuri walaupun ia belum pernah berjumpa dengan
Hamzah Fansuri. Ia dengan gigih mengembangkan ajaran-ajaran Fansuri
dengan berbagai usaha, misalnya dengan membuat syarah dari karya-karya puisi Hamzah Fansuri.
Hamzah Fansuri membawa pengaruh besar terhadap perkembangan sastra
Melayu pada masa kemudian. Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan ilmu
tasawuf sesuai paham yang diyakininya. Ada riwayat yang mengatakan bahwa
ia pernah sampai ke Semenanjung Melayu dan mengembangkan tasawuf di
negeri Perak, Perlis, Kelantan, Terengganu, dan lain-lain, dan pengaruh
beliau juga di dalam negeri sampai ke Buton Sulawesi Tenggara.
Raja Ali Haji dan Abdullah bin Munsyi adalah dua nama yang juga
mempunyai peran tak kalah besar terhadap estafet tradisi sufistik
kesusastraan Melayu periode1800-an. Melalui penerbitan yang mereka
miliki, mereka menerbitkan ulang karya-karya sastra sufi dan sastra
sufistik terdahulun dan menyebarkannya ke seluruh Nusantara. Dua nama
tersebut juga dikenal sebagai penyair terkemuka. Bahkan Raja Ali Haji
disebut sebagai Bapak Bahasa Melayu Indonesia, sedang Abdullah bin
Munsyi adalah penaruh tonggak bahasa Melayu di Singapura.
Tradisi sufistik itu terus dilanjutkan hingga abad ke-20, misalnya
oleh Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru. Setelah era Pujangga Baru,
generasi sastrawan 70-an seperti Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum
Bachri, Abdul Hadi WM, dan lain-lain telah menimba sebagian inspirasi
dan wawasan estetik dari karya-karya Syaikh Hamzah Fansuri. Pada
1980-1990-an, estafet sastra sufistik terus terdengar lewat nama-nama
seperti Emha Ainun Najib, Acep Zamzam Noor, dll. Di Malaysia, kita
melihatnya, misalnya dalam sajak-sajak Usman Awang, Ahmad Khamal
Abdullah, dan Siti Zainon.
IV
Yogyakarta, pada periode 1990-an dikenal sebagai kota dengan 1000
penyair sufistik. Corak sastra sufistik memang telah menjangkit
penyair-penyair Yogyakarta pada masa itu. Fenomena maraknya puisi
sufistik di Yogyakarta ketika itu memunculkan banyak persoalan, mulai
gesekan antar penyair yang begitu intens sehingga menimbulkan
keseragaman selera estetik, hingga bagaimana memahami maraknya puisi
sufistik tersebut dalam formasi sosial-politik lokal dan nasional.
Aprinus Salam, dalam “Oposisi Sastra Sufi” memaparkanfenomena
maraknya sastra sufistik di Yogyakarta pada tahun 1980-an hingga
1990-an. Pada periode itu, menurut Aprinus, muncul begitu banyak
nama-nama penyair yang secara signifikan memberikan kecenderungan
sufistik. Diantaranya adalah Ragil Suwarna Pragolapati, Ahmadun Y.
Herfanda, Mustafa W. Hasyim, Matori A. Elwa, Abidah El-Khaliqie, Abdul
Wachid B.S., Otto Sukatno CR., Hamdy Salad, Ahmad Syubbanuddin Alwy,
Kuswaidi Syafi’ie, dan lain-lain. Jika kita telusuri, nama-nama penyair
di atas hampir semuanya pernah berproses di kampus IAIN (UIN), maka
kita bisa menarik kesimpulan, UIN Sunan Kalijaga mempunyai peranan yang
tak bisa dianggap remeh dalam keberlanjutan estafet sastra sufistik di
Nusantara.
Demikian, semoga menjadi pengantar diskusi yang menarik. [ ]
Badrul Munir Chair, penikmat sastra, lulusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa ditemui di http://www.badrulmunirchair.blogspot.com/
Makalah ini dirangkum dari skripsi Badrul Munir Chair, “Sastra Sufistik (Kajian terhadap Sajak-sajak Ahmad Khamal Abdullah)”, untuk bahan diskusi Masyarakat Bawah Pohon, Minggu, 23 September 2012.
[1] Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Estetika, Religiusitas, (Yogyakarta: Mahatari, 2004) hlm. 117.
[2] Lihat Abdul Hadi WM. Tasawuf yang Tertindas, Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, (Jakarta: Paramadina, 2001) hlm. 3-4.
[3] Ibid, hlm. 21-33.
[4] Aprinus Salam, Politik Sastra Sufi, Negara, Ideologi; Latar Sosial-Politik Bangkitnya Puisi Sufi Pada Tahun 1980-an Hingga 1990-an, Tesis S-2 Fakultas Sastra UGM.
[5] Braginsky, Nada-nada Islam dalam Sastera Melayu Klasik, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994) hlm. 3.
[6] Bani Sudardi, Sastra Sufistik; Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003) hlm. 29-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar