Oleh Achmad Faqih Mahfudz
Setiap kali nama Chairil Anwar disebut, saya selalu teringat pada sosok yang meradang-menerjang, pada ia yang …ingin hidup seribu tahun lagi.
Ketika umur 20-an tahun, pada masa awal-awal kepenyairannya, Chairil
telah menunjukkan kematangannya dalam berbahasa. Sajak-sajaknya
berapi-api, menggelora dibakar semangat khas anak muda yang
meledak-ledak. Jamak diketahui, Chairil hidup pada dekade 1940-an,
sebuah masa ketika republik ini sedang menata diri menjadi sebuah nation, sebuah bangsa. Maka tak heran bila kemudian ia lantang berteriak (dalam sajaknya):
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,
dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolah &
berlabuh
(Persetujuan dengan Bung Karno, 1948)[1]
Dari
sajak ini (atau sajak-sajaknya yang lain semisal “Diponegoro”) kita
dapat membaca dan merasakan bahwa betapa Chairil bukanlah seorang
penyair yang hanya asyik-masyuk dengan kesendirian dan
kesunyiannya, tapi sebaliknya, dengan bekal kesunyian dan kesendirian
itu ia bahasakan segala anasir perlawanan lewat sajak (sajak)-nya.
Namun, sebagaimana para penyair (sebelum dan sesudahnya), ia pun menjalani sikap kepenyairan dengan wajar, dengan nama-nama wanita. Ini bisa kita temukan dalam banyak sajak dari sajak-sajak yang pernah ia tulis.
Chairil
memang tak luput dari perasaan romantisme bahkan sentimentil saat ia
terlibat dengan urusan wanita dan cinta. Wanita dan cinta menjadi
pengalaman spiritual yang olehnya (dan oleh banyak penyair) dijadikan
bahan kontemplasi. Kehidupan Chairil memang banyak diwarnai dengan
nama-nama wanita. Ada yang dipacarinya, atau yang hanya ditaksirnya dan
tak terbalas hingga ia patah hati. Pengalamannya dengan wanita-wanita
itu menjadi sumber inspirasinya, bahkan nama-nama mereka secara tersurat
hadir dalam puisi-puisinya, seperti nama Karinah Moordjono, Dien
Tamaela, Gadis Rasid, Sri Ajati, Ida dan Sumirat. Itu pula sebabnya,
nama-nama gadis ini diabadikan dalam sejumlah puisi Chairil. Nama-nama
gadis ini disebut setidaknya dengan tiga cara: Pertama, disebut dalam baris-baris sajak (Ida dalam puisi “Ajakan” dan “Bercerai”). Kedua,
dijadikan judul puisi (Sumirat dengan judul “Dengan Mirat” atau “Mirat
Muda”, “Chairil Muda”, Dien Tamaela dengan judul “Cerita Buat Dien
Tamaela”, dan Gadis Rasid dengan judul “Buat Gadis Rasid”). Ketiga,
dijadikan sebagai persembahan puisi (Sri Ajati dalam “Senja di
Pelabuhan Kecil” dan “Hampa”, Karinah Moordjono dalam puisi “Kenangan”,
dan Sumirat dalam “Sajak Putih”).[2]
Setiap penyair barangkali
juga sekaligus peramal. Seorang yang terasah dan peka batinnya terghadap
apa yang kelak akan terjadi. Dalam konteks Chairil, barangkali ia
adalah salah seorang penyair yang juga (dapat) menebak kapan ia akan
meninggalkan kefanaan ini. Ini dapat kita rasakan dalam sajak terakhir
yang ia tulis di tahun kematiannnya:
Kelam dan angin lalu mempersiang diriku
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semakin tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga
deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau
datang
dan kau bias lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapu kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa
berlalu beku
(Yang Terampas dan yang Putus, 1949)[3]
Demikianlah, meski ..ingin hidup seribu tahun lagi, pada akhirnya sang penyair harus ..diam dan sendiri, menggenapi dan mengikhlaskan segala cerita dan peristiwa-nya berlalu beku. Chairil meninggal di usia muda, di usia 27 tahun. Meski demikian, 70 sajak yang ia tulis akan tetap hidup seribu tahun lagi.
Chairil, Bukan
kematian benar menusuk kalbu/ keridlaanmu menerima segala tiba/ tak
kutahu setinggi itu atas debu// dan duka maha tuan bertakhta..
[1] Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011) hlm. 89
[2] Aminuddin Rifai, SS. dalam Vitalitas, Pergaulan dengan Hidup, dan Mabuk Bacaan (Kakilangit, Majalah Sastra Horison, edisi April 2009), hlm 13.
[3] Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011) hlm. 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar